Sketsa Pengetahuan Manusia: Gambaran Ibn Sina
Ada dua (bentuk-tingkat) pengetahuan menurut Ibn Sina: konseptualisasi (tashawwur) dan justifikasi (tashdiq). Konseptualisasi berarti menangkap ke-apa-an atau esensi sesuatu. Justifikasi berarti memahami sebab sesuatu. Konseptualisasi mau menjawab “apa itu manusia?”. Justifikasi mau menjawab “mengapa manusia?”
Konseptualisasi diperoleh melalui definisi dan semacamnya. Justifikasi diperoleh melalui silogisme dan semisalnya. Jadi, definisi dan silogisme adalah sarana untuk memperoleh pengetahuan baru yang sebelumnya tidak diketahui atau cuma diketahui secara global. Definisi menyingkap esensi, silogisme menelusuri kausalitas. Proses penggunaan sarana ini ialah refleksi (rawiyyah).
Definisi menyingkap esensi, silogisme menelusuri kausalitas.
Baik definisi maupun silogisme ada (1) yang hakiki, (2) yang non-hakiki tapi bermanfaat, dan (3) yang batil tapi mirip hakiki. Pembedaan ini sangat penting. Menurut Ibn Sina, pertentangan pendapat di antara pelbagai mazhab dan di antara satu orang pada waktu yang berbeda berakar pada ketidakmampuan membedakan tiga macam definisi dan silogisme itu. Implikasinya, pengetahuan yang cermat mengenai hal itu bisa membuat seseorang konsisten dalam pemikiran dan bisa mengurangi (kalau tidak meniadakan) pertentangan antarmazhab pemikiran. Implikasi lebih jauh lagi: Ibn Sina tampaknya mengasumsikan terdapat kebenaran tunggal yang dapat diupayakan melalui metode logika. Asumsi ini tentunya berkaitan erat dengan pandangan Ibn Sina bahwa sumber terdalam inteligibilitas ialah Sang Akal yang Mahatunggal, Tuhan.
Namun demikian, pengetahuan tentang (dan tampaknya juga kecakapan menggunakan) definisi dan silogisme tidak bisa digantungkan kepada (proses) kecerdasan bawaan atau ‘fitrah’ dalam istilah Ibn Sina. Malah justru karena semata mengandalkan ‘fitrah’ inilah, kata Ibn Sina, pertentangan atau kontradiksi itu rentan terjadi.
Sumber terdalam inteligibilitas ialah Sang Akal yang Mahatunggal, Tuhan.
Lalu bagaimana definisi dan silogisme dibuat? Untuk menjawab ini, Ibn Sina mengambil analogi kursi. Kita tahu, kursi terdiri dari bahan (kayu, misalnya) dan bentuk atau rupa ke-kursi-an. Pun, kita tahu kursi tidak bisa dibuat dari sembarang bahan (dari air, misalnya), juga tidak dengan sembarang bentuk atau rupa. Akhirnya, bagus atau tidaknya kursi bisa karena bahannya, bisa karena bentuknya, dan bisa pula karena keduanya.
Definisi dan silogisme mirip kursi: sama-sama terdiri dari bahan atau materi dan bentuk atau rupa; sama-sama tidak bisa dibuat dari sembarang materi dan rupa; dan bagus-tidaknya sama-sama karena materinya saja, atau rupanya saja, atau keduanya. Karena beberapa kesamaan inilah Ibn Sina, sebagaimana akan dibahas di tulisan berikutnya, menyebut logika sebagai ‘seni’ (shina’ah).