Mengapa Mahasiswa S1 tidak Selayaknya Presentasi Berkelompok di Kelas?
Dosen punya metode perkuliahan yang berbeda-beda. Sebagian metode itu mereka desain sendiri. Sebagian lagi tampaknya meneruskan gaya belajar yang mereka alami saat S1 dulu.
Di antara cara populer, setidaknya di fakultas atau di kampus saya, adalah dosen menugaskan mahasiswa sejak awal perkuliahan untuk membuat kelompok. Kelompok bertugas menulis makalah dan presentasi berjamaah di kelas. Tema sudah dosen tentukan dan bagikan di awal perkuliahan. Sebagian referensi juga sudah dosen sertakan di silabus yang mereka berikan di awal kelas. Tapi mahasiswa dipersilahkan sebebas mungkin untuk mengakses sumber apa pun.
Alasan mengapa metode ini terus digunakan bisa beragam. Salah satunya bisa jadi ini: asumsi bahwa pendidikan tinggi pada umumnya punya tugas riset untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, dan mahasiswa S-1 harus mulai belajar riset. Mereka bukan lagi siswa yang belajar dengan pasif; sudah saatnya mereka menyusun pemahaman sendiri, tanpa bergantung pada dosen.
Memang betul mahasiswa mesti mulai berpartisipasi, meski terbatas, dalam peran perguruan tinggi sebagai lembaga riset. Tetapi, partisipasi ini menuntut aktivitas pembelajaran yang sangat intensif, dan ini tidak bisa ditugaskan kepada mahasiswa secara bergerombol. Masing-masing mesti belajar mengamati dan menjelajahi hutan belantara ilmu pengetahuan. Peran dosen dalam hal ini sangat signifikan. Dia diharapkan bisa menunjukkan bukan hanya hutan secara keseluruhan, tapi juga rincian pohon-pohon yang dia amati dalam bidangnya. Tanpa panduan yang telaten, mahasiswa pemula rentan tersesat dengan mengira satu pohon saja sebagai hutan, atau hutan hanya satu pohon.
Karena itu, metode belajar ini, menurut saya, saat ini harus dievaluasi ulang. Secara teori, dia tidak sesuai dengan prinsip pendidikan. Secara praktik, metode ini rentan dicurangi.
Prinsip pendidikan adalah bahwa setiap orang mesti menjalani sendiri pendidikannya. Sebagaimana kebutuhan dasar dalam hidup seperti bernafas, makan, dan minum, pendidikan tidak bisa diwakilkan ke orang lain. Artinya, setiap mahasiswa harus membaca sendiri buku yang harus dia baca, harus menulis sendiri makalah yang harus dia tulis, dan harus menerangkan sendiri apa yang dia pahami sendiri. Ini karena kebodohan adalah milik setiap pribadi, dan pendidikan adalah hak sekaligus kewajiban setiap pribadi. Perguruan tinggi mesti menunaikan hak ini dan sekaligus membantu setiap mahasiswa untuk menjalani kewajibannya.
Saya tidak menampik manusia bisa tumbuh berkembang bersama-sama. Manusia bisa bekerja sama untuk belajar. Tetapi tetap saja: mereka hanya bisa belajar sebagai pribadi, bukan sebagai kerumunan atau gerombolan.
Dalam kenyataan, tugas makalah-presentasi berjamaah sering dicurangi. Di antara empat atau lima anggota kelompok, hanya satu atau dua orang yang aktif membaca dan menulis. Sisanya iuran biaya cetak makalah — dan mungkin juga mentraktir si penulis makalah. Saat presentasi, bisa dipastikan hanya si pembaca-penulis akan aktif berbicara menyampaikan materi dan menanggapi pertanyaan; sisanya hanya bakal menambahkan sedikit-sedikit atau hanya plonga-plongo. Ini dari sisi mahasiswa.
Metode kuliah ini juga kurang sehat untuk keilmuan dosen. Sepanjang kuliah, dia mempersilahkan mahasiswa untuk berdiskusi, dan dia jadi moderator. Diskusi kadang menyita waktu hampir satu jam lebih. Dan dosen baru ‘menambahkan materi’ dan ‘meluruskan kesalahpahaman’ di penghujung waktu: sekitar 30 menit (dengan asumsi dosen datang tepat waktu); dalam waktu singkat itu, masih sangat mungkin sesi tanya-jawab dibuka lagi. Dengan demikian, dosen hampir tidak punya kesempatan menggali lebih jauh materi yang dipelajari, merenungkan lebih dalam kemungkinan-kemungkinan yang belum dijelajah, mencoba menjelaskan hal yang sama dari perspektif berbeda, dan seterusnya.
Memang, banyak faktor berperan dalam hal ini. Di satu sisi, dosen kebanyakan tugas: jam mengajar terlalu banyak, tuntutan publikasi, dan pastinya seabrek tugas administrasi untuk melayani sistem birokrasi yang kelewat rumit. Di sisi lain, juga ada problem pada mahasiswa: jumlah yang terlalu banyak dan tidak seimbang dengan jumlah dosen, motivasi belajar rendah, banyak aktivitas non-akademis di luar kampus yang menyita waktu, dan sebagainya. Dilihat dari segi ini, masalah metode belajar di kelas berkaitan langsung dengan sistem pendidikan secara keseluruhan, baik di tingkat kampus maupun nasional.
Bagaimana pun, yang terutama saya garis-bawahi dari evaluasi ini adalah: kita mesti berhenti memperlakukan pendidikan sebagai proses yang dijalani oleh peserta didik sebagai rombongan. Proses pendidikan mesti menekankan peserta didik sebagai pribadi. Setiap dosen, saya percaya, tetap bisa merealisasikan prinsip dasar ini, betapa pun terbatas di kelasnya masing-masing, pun sampai tingkat yang dia bisa lakukan. Di tengah segala kesulitan dan kerumitan sistem pendidikan kita, langkah kecil untuk meneguhkan prinsip itu tetap jauh lebih berharga daripada sama sekali melupakannya.