Khidir, Ikan dan Laut
Syekh Akbar Ibn ‘Arabī pernah berkata dalam doanya, “Duhai Tuhan, masukkan aku ke kedalaman samudera kemahaesaan-Mu yang nirbatas,” dan Khidir berkata, “Aku adalah pembimbing ikan di samudera ketuhanan.” Dalam Futūḥāt, Ibn ‘Arabī menceritakan dirinya dibaiat dengan memakai jubah Khidir. Ibn ‘Arabī adalah salah satu murid Khidir.
Dalam al-Quran, Tuhan menyebutkan “seorang dari hamba-hamba Kami yang Kami karuniai kasih dari sisi Kami dan Kami mengajarinya ilmu dari Kami (min ladunnā)” (Q. S. al-Kahf [18]: 65), dan Nabi Muhammad dalam hadis riwayat Bukhārī (№. 4725–4727) menyebut hamba itu adalah Khidir (atau, sebagaimana dalam hadis, al-Khadhir). Dari segi skriptural, berdasarkan ayat inilah para sufi memahami ada yang namanya al-‘ilm al-ladunnī, yakni, ilmu yang adalah murni pemberian dari Tuhan. Lagi, Ibn ‘Arabī dalam Futūḥāt menjadikan Khidir sebagai ikon hamba Tuhan yang mendapatkan ilmu ini.
Kisah Nabi Musa dan Khidir dalam al-Quran (Q. S. al-Kahf [18]: 60–82) sangat terkenal dalam dunia Islam, khususnya dalam dunia Tasawuf, dan para sufi telah dengan kaya dan mendalam memahaminya secara simbolik. Dalam keseluruhannya, kisah ini menyimbolkan perbedaan antara ilmu zahir yang didasarkan atas Wahyu atau akal dan ilmu batin yang diperoleh langsung dari Tuhan. Di samping itu, kisah ini juga menyimbolkan gambaran tentang murid dan guru dalam tradisi sufi. Dalam semua ini, Musa menyimbolkan bagian pertama (ilmu zahir dan murid), sedangkan Khidir bagian kedua (ilmu batin dan guru).
Nabi Musa diperintahkan untuk menjumpai Khidir di perjumpaan dua lautan (majma‛ al-baḥrain). Beliau berangkat bersama pelayannya sambil membawa ikan sebagai penanda kehadiran Khidir. Musa belum merasakan lapar saat ia beristirahat di sebongkah batu yang sebenarnya adalah tempat yang ia tuju, tetapi tidak ia kenali. Ia malah lupa pada ikannya, yang di tempat itu menjadi hidup dan melompat kembali ke laut, dan si pelayan tampaknya menyaksikan peristiwa ini, namun kemudian lupa. Musa dan pelayannya melanjutkan perjalanan. Saat lelah telah menghampiri Musa, ia meminta pelayannya menghidangkan makanan. Si pelayan akhirnya ingat akan peristiwa ikan itu, dan Musa jadi tahu kalau itulah tempat yang hendak dia datangi. Maka, dia pun kembali, dan di sana ia bertemu Khidir.
Dipahami sebagai simbol perjalanan rohani, dua laut itu menyimbolkan dua alam: yang asin melambangkan alam badan, yang segar melambangkan alam roh. Tempat pertemuan keduanya menyimbolkan jiwa. Musa tidak merasakan kelelahan dan kelaparan saat ia beristirah di perjumpaan dua laut itu; ini menyimbolkan jiwa yang tidak mengalami kegelisahan dan ‘kelaparan’ saat ia tenang berada di dekat atau malah tersambung dengan ‘sumber’-nya, yaitu roh. Akan tetapi, Musa kemudian menjauh darinya dan merasakan lapar dan lelah. Artinya, jiwa menjadi lemah saat jauh dari sang sumber. Akhirnya, Musa kembali ke perjumpaan dua lautan itu berarti jiwa kembali ke asal-usulnya, kepada Tuhan.
*** *** ***
Bacaan
Al-Quran.
Al-Bukhārī. Muḥammad ibn Ismā‛īl. Shaḥīḥ al-Bukhārī, ed. Muḥammad Fuād ‘Abd al-Bāqī. Kairo: Dār al-Ḥadīts, 2011.
Corbin, Henry. Spiritual Body, Celestial Earth, terj. Nancy Person. Princeton: Princeton University Press, 1989.
__________. Alone with the Alone: Creative Imagination in the Sufism of Ibn ‘Arabi, terj. Ralph Manheim. Princeton: Princeton University Press, 1998.
Ibn ‘Arabī. al-Futūḥāt al-Makkiyyah, ed. Aḥmad Syams al-Dīn. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2011.
Lings, Martin. What is Sufism?. Cambridge: The Islamic Texts Society, 1993.
Al-Jīlī, ‘Abd al-Karīm. al-Insān al-Kāmil. Dār al-Fikr.
Nasr, Seyyed Hossein, dkk. The Study Quran. New York: Harper One, 2015.